SEBAIKNYA ORANG TUA LEBIH WASPADA TERHADAP PENGGUNAAN HP ANAKNYA

FALSAFAH JAWA

 
FALSAFAH TIYANG JAWI ( FALSAFAH ORANG JAWA )
1. FALSAFAH ( PANDANGAN HIDUP ) punika menawi dipun tegesi mawi pangertosan Jawi tegesipun kirang langkung “ Pandom panutan gambaraning ngagesang “.
2. ORANG JAWA ( TIYANG JAWI ) punika tiyang ingkang mapan utawi asal saking tanah jawi, inggih punika wewengkon ingkang kala rumiyin kaiket dening pranatan lan kabudayan kraton ing tanah Jawi.

Tiyang Jawi kawentar golonganing bebrayan agung ingkang nggadhahi falsafah lan unggah-ungguh ingkang alus lan jangkep. Sadaya tingkah laku saha tata basa mujudaken asil pangolahing kabudayan ingkang sampun sampurna. Pramila mboten klentu menawi kabudayan Jawi kondhang kanthi tetembungan “ Kabudayan ingkang Adi Luhung “ ( Kebudayaan yang indah, bermakna, terdepan, unggul dan terpuji ). Kebak ing tata krama, ingkang mawujud kanthi basa lan pakarti utama. Gegambaraning tingkah laku tandang tanduk kathah ingkang dipun warisaken turun tumurun kanthi awujud unen-unen, paribasan, bebasan, lan saloka.

Sesrawungan kaliyan tiyang jawi mboten wonten ingkang mboten remen, Temtu kathah remenipun. Sebab tiyang Jawi punika kondhang pinter damel remen manahipun tiyang sanes. Wonten ing salebeting manah saged ugi mboten remen, nanging praupan, polatan, lan tata basa tetep dipun damel remen lan nyengsemaken. Ngadhepi tiyang sinten kemawon, senajan mboten remen kaliyan tiang kalawau, nanging tiyang jawi tetep saged ngadhepi kanthi ulat manis. Benten kaliyan golonganing masyarakat sanes, ingkang wantah punapa wontenipun. Menawi boten remen ugi dipun adhepi kanthi polatan suntrut, kosok wangsulipun menawi remen ugi dipun adhepi kanthi polatan manis. Nanging menawi tiyang jawi saged " manjing ajur-ajer “, liripun dipun ajak punapa kemawon purun senajan congkah kaliyan manahipun.

Gampil caranipun menawi badhe sesrawungan kaliyan tiyang Jawi. Nyinau bab pranataning ngagesang ugi gampil. Wulang wuruk ingkang awujud unen-unen lan sesanti tumrap tiyang jawi tansah dipun pepundi lan dipun ugemi. Pramila boten aneh menawi pakartinipun jumbuh kaliyan unen-unenipun.

Jagading pamulangan lan pitutur ingkang awujud unen-unen, Bebasan, Paribasan, Isbat lan Saloka, ngemot kawruh ingkah limpad ing babagan watak lan budi pakarti. Kados upaminipun wonten ing tetembungan :
  1. “ Aja mung waton ngomong, nanging ngomonga nganggo waton “. (jangan asal bicara, tetapi bicaralah dengan alasan yang jelas).
  2. " Aja rumangsa bisa nanging bisaa rumangsa " (jangan merasa bisa, tapi bisalah merasa atau menggunakan perasaan).
  3. " Sepuh sepa, tuwa tuwas " ( tua hambar atau tidak memiliki rasa lagi atau orang tua yang sia-sia dan tidak berharga )
  4. " Bandha bisa lunga, pangkat bisa oncat, bojo ( ayu ) bisa melayu " ( harta dapat pergi, jabatan dapat hilang, istri cantik bisa pergi, yang bermakna segala apa yang dimiliki bisa hilang kapan saja).
  5. “ Wani ngalah luhur wekasane “ ( Siapa yang mau mengalah nantinya akan mendapat kemenangan )
  6. “ Aja nggege mangsa ndhisiki kersane sing gawe urip “ ( Tidak perlu menempuh jalan pintas, kalau tiba waktunya akan terlaksana juga, serahkan pada Allah SWT )
  7. “ Sapa temen tinemu “ ( Siapa yang tekun mencari nanti akan mendapatkan )
  8. “ Durung besus kaselak becus “ ( Belum belajar sudah berlagak merasa pandai )
  9. “ Tuna sathak bathi sanak “ ( Rugi sedikit asal dapat menambah persaudaraan )
  10. “ Ing ngarsa asung tuladha, ing madya ambangun karsa, tut wuri handayani “ ( Jika didepan harus memberi contoh, jika ditengah harus memberi semangat, jika dibelakang harus memberi kekuatan atau dorongan )

Kirang langkung makaten kawruh sapala babagan “ FALSAFAH TIYANG JAWI “ Pranyata Kabudayaan Nasional punika kathah ingkang dipun anggit saking adat istiadat lan falsafahipun tiyang Jawi. Nuwun.



PERLUNYA PEMAHAMAN KEBUDAYAAN JAWA DI SEKOLAH
( Hermadi )

Kebudayaan dalam arti yang luas dapat diterjemakan sebagai berikut :
“ Semua hasil cipta, rasa, karsa, dan karya manusia, yang dapat digunakan untuk memudahkan hidup “ Dengan demikian maka tradisi, adat istiadat/prilaku, akhlaq/budi pekerti, tempat tinggal, pergaulan, dan bahasa, semuanya dapat dikatakan kebudayaan atau hasil budaya.
Dimasa lampau, kebudayaan Jawa ini kental dengan ajaran agama. Dalam hal ini agama Islam. Kita bisa menyimak sejarah masa lalu bagaimana peranan Wali Sanga dalam menyiarkan agama Islam. Kita bisa menyimak gelar raja-raja Mataram Islam yang menggunakan sebutan “ Senopati Ing Alaga Ngabdurrahman Sayidin Panatagama “ ( artinya kurang lebih : Panglima Perang dan juga Ulama yang berhak mengatur kehidupan keagamaan Islam )
Oleh karena itu untuk memperkenalkan budaya Jawa yang memang sudah kental dengan agama Islam didaerah Pekalongan dan sekitarnya sebetulnya tidak ada masalah. Hanya saja ada beberapa hal yang perlu untuk diluruskan. Seperti misalnya budaya syukuran dalam membangun rumah ( menaikkan Molo ), Ruwatan disertai dengan mengadakan pagelaran wayang ( bagi anak yang harus diruwat : bocah sukerta ), Tedhak Siti, Menyembah kepada manusia ( Raja ), dan lain-lain apabila tidak diluruskan akan memberikan pengertian yang lain. Menyembah dalam budaya Jawa sama sepeti menghormat dalam budaya asing ( Eropa / negara Barat }, misalnya : Menghormat pada jabatan yang lebih tinggi, Menghormat pada bendera, ( waktu upacara ), Sungkem pada orang tua, dan lain-lain.
Memudarnya kebesaran kraton Jawa dimasa lampau yang disebabkan oleh bercokolnya penjajah selama ratusan tahun dibumi Nusantara ini, ikut menyempitkan pengertian ke Islaman budaya Kraton. Hal inilah yang sering dianggap oleh saudara kita yang beragana Islam tidak ada manfaatnya mempelajari dan melestarikan Budaya Jawa. Penjajahan dibumi Nusantara disamping menyalah artikan budaya Jawa juga menyempitkan ruang lingkup dan penggunaan bahasa Jawa. Namun satu hal yang dapat dibanggakan adalah kebudayaan Jawa merupakan kebudayaan yang mampu mewarnai Kebudayaan Nasional. Pendidikan disekolah merupakan sarana yang sangat penting untuk ikut meluruskan dan melestarikan Kebudayaan Jawa.


Masalah Yang Dihadapi
Kadang guru lupa berpikir, perlukah anak diberikan pertanyaan-pertanyaan lebih dahulu sebelum guru yang bersangkutan menyampakan materi pelajaran. Sepintas lalu masalah ini kelihatannya sederhana, tetapi sebetulnya pantas untuk direnungkan. Sebab dengan adanya pertanyaan atau evaluasi materi sebelumnya, atau bahkan materi yang akan disampaikan, guru dapat mempunyai gambaran sampai sejauh mana siswa mengetahui atau menguasai pelajaran yang sudah atau sedang diberikan.
Karena didalam menyampaikan pelajaran seorang guru terikat oleh kurikulum dan alokasi waktu, maka kadang pemberian pertanyaan baik sebelum atau sesudah mengajar sering terlupakan, bahkan terabaikan. Asalkan sudah merasa menerangkan dengan jelas dan tidak ada pertanyaan dari si anak didik, guru sudah merasa puas dan bersiap-siap menyampaikan materi pelajaran berikutnya. Hal ini berlangsung bertahun-tahun tanpa terlintas untuk berpikir apakah langkahnya sudah benar dan apa kah materi yang disampaikan sudah dipahami oleh anak didik.
Mata Pelajaran Muatan Lokal Bahasa Jawa mungkin merupakan salah satu mata pelajaran yang tidak disukai anak didik. Karena disamping sukar dipahami, juga dianggap kurang bermanfaat di dalam kehidupan sehari-hari. Apalagi untuk wilayah Pekalongan dan sekitarnya. Walaupun disadari bahwa bahasa Jawa digunakan sebagai bahasa komunikasi sehari-hari, namun sering dijumpai kata yang diucapkan atau digunakan dalam pergaulan sehari-hari banyak yang berbeda bahkan bertentangan dengan kata atau bahasa yang diajarkan disekolah. Hal ini disadari oleh semua pihak, baik guru, siswa, maupun masyarakat itu sendiri. Itulah tantangan nyata yang dihadapi oleh para guru sebagai pendidik dan pengajar bahasa Jawa. Mungkin tantangan yang paling berat yang ada didepan mata kita.
Apalagi kalau menyangkut masalah unggah-ungguh basa, yaitu pengetrapan atau penggunaan bahasa yang berbeda tergantung kepada siapa kita berbicara. Ini yang paling sukar dipahami. Berbicara dengan lawan bicara yang sebaya, yang lebih tua, atau yang lebih muda, kata yang digunakan akan berbeda. Ukuran untuk menentukan sebaya, lebih tua, atau lebih muda, tidak hanya didasarkan pada usia atau umur saja, melainkan lebih dari itu, yalah didasarkan pada derajat dan kedudukannya di tengah-tengah masyarakat. Inilah yang waktu tanggal 28 Oktober 1928 pada Konggres Pemuda yang ke II ( Sumpah Pemuda ), para peserta tidak ikhlas mengangkat bahasa Jawa menjadi bahasa persatuan Indonesia atau Bahasa Indonesia , salah satu diantara sebabnya karena bahasa Jawa dianggap bahasa Feodal yang membeda-bedakan derajat, pangkat, dan golongan.
Didalam belajar Bahasa Jawa disamping dibutuhkan hafalan seperti juga bahasa yang lain, juga dibutuhkan pemikiran dan penalaran. Sasarannya sama, lawan bicaranya sama, yaitu manusia, hanya saja didalam masyarakat Jawa, sikap menghormat kepada orang lain terutama kepada yang lebih tua, tidak hanya ditunjukkan dengan tingkah laku saja, melainkan juga ditunjukkan dengan penggunaa bahasanya. Oleh karena itu guru bahasa Jawa dituntut untuk dapat memberikan penjelasan dan gambaran kepada anak didik tentang kedudukan orang per-orang dimasyarakat, terutama yang berkaitan dengan statusnya, bukan untuk masyarakat Jawa saja, melainkan juga untuk masyarakat luas.
Menyadari keadaan dan kenyataan yang demikian, maka guru bahasa Jawa perlu menemukan cara atau metode yang tepat bagaimana menyampaikan pelajaran supaya mudah dimengerti dan dipahami oleh si anak didik, sehingga mereka ingin mengerti lebih jauh tentang Bahasa dan Kebudayaan Jawa. Adalah suatu hal yang ironis jika menggunakan bahasa Jawa sebagai alat komunikasi sehari-hari, tetapi tidak tahu cara menggunakan bahasa yang baik dan benar.
Yang namanya bahasa, disamping sarana komunikasi dalam pergaulan, juga merupakan sarana untuk mempelajari adat istiadat, tingkah laku, tradisi, dan juga wacana / wawasan kebudayaannya. Satu hal utama yang tidak boleh diabaikan adalah bagaimana cara menumbuhkan kesadaran bagi si anak didik supaya mereka tertarik untuk mempelajari dan menghayati bahasa serta budaya Jawa. Kalau hal ini dapat tercapai, maka pada gilirannya, Kebudayaan Jawa yang dikenal dengan budaya yang adi luhung itu ( indah, mulia, dan bernilai tinggi ), akan lebih mewarnai terwujudnya Kebudayaan Nasional Indonesia.